Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Sosial’ Category

saya dari dulu penasaran bagaimana lifestyle (gaya hidup) riil kaum muda di timur tengah. lalu tanpa sengaja di akun youtube saya muncul tautan acara “Arab Got Talent”. saya klik dan tonton rekaman itu. ahh,  setidaknya acara ini sedikit demi sedikit dapat menjawab pertanyaan saya. yang saya temukan acara ini sudah sampai season 4, yaa kurang lebih berarti berjalan 4 tahun.

saat melihat peserta, juri, penonton, pertama yang saya perhatikan pakaiannya. ooh, pakaiannya gaooll kekinian brooo….. bahkan yang perempuan tidak semua berkerudung. hampir saya tidak melihat jenis pakaian syar’i, yang disini sering jadi perdebatan dan disebut ‘pakaian yang paling benar’ itu. (lebih…)

Read Full Post »

becanda jumat siang. jangan diambil hati ya… hehe… berikut malpraktek beberapa profesi. maaf kalo salah. namanya juga becanda… 🙂

malpraktek dokter: salah diagnosa, jadi tambah sakit bahkan mati.

malpraktek hakim: salah membuat putusan, putusan/hukuman jadi tidak semestinya.

malpraktek jaksa: memainkan pasal, pidana jadi tidak semestinya.

malpraktek pengacara: melakukan tindakan diluar yang dikuasakan oleh klien. jadinya klien, dan pihak lain dirugikan.

malpraktek guru: salah ajar. murid jadi alay, suka tawuran, suka narsis, suka telanjang depan kamera.

ada lagi? ini becanda lho ya, gak usah diambil serius… :p

Read Full Post »

dua profesi, pengacara dan dokter sebenarnya sama-sama menangani klien. tapi cara klien memperlakukan keduanya berbeda.

posisinya, klien menghubungi pada malam hari. jam 12 malam. baik si pengacara maupun si dokter sudah dirumah masing-masing bersama keluarga. setelah letih seharian mengurus klien-klien yang lain.

tiba-tiba handphone si dokter berdering. kebetulan ini adalah dokter yang dikenal baik dengan klien-kliennya. sehingga jam berapapun telpon berdering dari klien, dia mengangkatnya. dia angkat telponnya, diseberang langsung terdengar suara sapa.

“selamat malam, dok. maaf saya mengganggu tengah malam begini,” ujar klien meminta maaf lebih dulu.

“iya, bagaimana?” jawab si dokter.

“dokter sekarang sedang dimana? saya…. bla…bla…bla…,” si pasien menceritakan keluhannya.

“hmm…hmm…,” terdengar sahutan dokter, sambil si pasien bercerita keluhannya di tengah malam.

“bagaimana dok?”

“saya sekarang dirumah, silahkan bawa ke rumah sakit anu. nanti disana ke bagian anu, sampaikan keluhannya. saya akan telpon rumah sakitnya dari sini. besok pagi-pagi kita ketemu di rumah sakit,” jawab sang dokter dengan halus menjelaskan.

“oh, baik dok. terima kasih ya dok,” si pasien mengakhiri pembicaraan lewat telpon.

nah, dialog diatas kurang lebih hanya intinya. bisa jadi di kejadian sebenarnya dialog lebih cepat, atau mungkin lebih panjang.

sementara di tempat lain, pada waktu yang sama si pengacara ditelpon oleh kliennya. segera telpon diangkatnya.

“malam pak, maaf mengganggu,” sapa si klien dengan suara panik.

“iya, bagaimana pak?” jawab si pengacara.

“aduh pak, saya ditangkap. bagaimana ini pak? tolong saya, segera kesini pak.”

“bapak tenang dulu, jangan berikan keterangan apapun. besok pagi-pagi sekali saya dampingi bapak.”

“aduh bapak ini bagaimana sih, bapak kan pengacara saya. saya sedang kena masalah malah menghindar. bla…bla…bla…,” si klien pun memaki.

dialog antara klien dengan pengacaranya tidak selesai sampai disitu. kalau si pengacara tidak datang, maka pada umumnya setiap jam atau bahkan setiap saat pasti si klien menelpon sambil panik dan memaki. kalau pengacara datang, waktu istirahat terbuang.

silahkan dibandingkan perlakuan klien kepada dokter dan pengacara. klien pengacara pada umumnya “sadis”. karena mereka datang saat masalah sudah menjadi pelik, rumit, dan ruwet. saat masalah masih sederhana, yang sebenarnya masalah masih bisa diperbaiki, mereka enggan meminta bantuan.

tapi buat saya, itu resiko pekerjaan. jangan salah, terhadap kasus tak berbayar pun ada klien yg seperti ini. walaupun mungkin mereka lebih sopan karena sadar tidak membayar.

saya ingin katakan, semua profesi adalah mulia. dan kita yang menjalankan profesi tersebut yamg harus mampu menjaga kemuliaannya. klien andalah yang sesungguhnya bisa menilai, anda sudah menjalankan profesi dengan baik atau tidak.

Read Full Post »

Awalnya membaca komentar I Gusti Putu Artha (mantan anggota KPU) dalam satu status di akun fesbuknya. Dia menyebut bahwa periode tahun 60-70an Bali memiliki gubernur yang bukan dari Bali. Dan masyarakat Bali saat itu tetap kondusif.

Bali memang pernah dipimpin oleh Gubernur bernama Soekarmen. Pria kelahiran Blitar, dan beragama Islam. Dalam komentar statusnya IGP Artha juga menyebut, dengan kondisi demokrasi hari ini yang penuh fanatisme, sukuisme, berbagai pengentalan lokalitas, demokrasi di Bali bisa disebut kemajuan atau kemunduran?

Saya membandingkan dengan beberapa daerah lain di Indonesia. Kondisi di mas orde baru, Bali tidak jauh berbeda dengan daerah yang lain. Pemimpin daerah pada umumnya selalu dipimpin dari orang lokal. Kecuali nyata adalah DKI Jakarta, yang memang dipimpin beragam etnis.

Bagi saya, nyata pengentalan identitas sesungguhnya bagian dari politik budaya orde baru. Sebagian besar daerah di awal orde baru dipimpin oleh orang lokal yang memang mampu dan berkualitas sebagai pemimpin. Namun kemudian seolah memenuhi aspirasi lokal, yang dipilih berikutnya sebagai pemimpin adalah orang lokal yang sekadar bisa menjadi perpanjangan tangan pusat. Tak heran, hampir di setiap daerah gubernur pada era akhir 70an dan awal 80an memiliki catatan prestasi positif bagi daerahnya.

Dalam politik budaya di Bali, orde baru mengentalkan identitas budaya bahwa masyarakat Bali adalah homogen, dengan identifikasi Bali adalah Hindu. Adanya kenyataan komunitas-komunitas non-Bali dan/atau komunitas non-Hindu yang eksis di Bali selama ratusan tahun dicitrakan sebatas anomali dari homogenitas.

Belakangan kini ditengah semakin kuatnya lokalitas, justru bukti-bukti heterogenitas Bali marak bermunculan. Semakin banyak ditemukan manuskrip, arca, tempat pemujaan kuno, ritual dan berbagai bukti serta kajian abaik sejarah maupun budaya yang semakin menunjukkan di masa lalu Bali tidaklah homogen. Peradaban Bali dipenuhi warna heterogenitas, multikultur. Namun di masa politik budaya orde baru, heterogenitas ini tidak dipandang sebagai eksistensi yang bernilai. Sehingga tak sadar nilai yang muncul adalah dominasi, siapa mendominasi siapa. Yang tidak dominan hanya menjadi pelengkap.

Sesungguhnya kita saat ini memiliki pilihan, terus mengentalkan kultur “homogen seolah-seolah” ini dengan terus melakukan pengentalan identitas kelokalan sabagaimana yang dilakukan orde baru. Atau, semakin menguatkan ke permukaan kenyataan heterogenitas multikultur yang nyatanya sudah menjadi bagian hidup masyarakat Bali di masa lalu. Dimana beragam kultur yang ada memiliki dan mendapatkan pengakuan eksistensi yuang sama baik dalam politik, sosial, kemasyarakatan.

Read Full Post »

Pagi ini, 20 September 2011, listrik belum terbayar, demikian juga dengan air PDAM. Padahal ini adalah hari terakhir, terutama untuk pembayaran listrik. Saya memilih membayar keduaya di BPR dekat rumah. Malas antri kalau membayar di bank besar. Bahkan ATM BPD pun biasanya antri, kalau tidak rusak.

Sambil membenahi posisi parkir motor, tiba-tiba saya dikejutkan dengan panggilan dari belakang. Saya pun menoleh. Dia yang memanggil saya adalah seorang perempuan. Berkulit putih, ramping, berjaket dan bercelana hitam. Dia masih diatas sepeda motornya dengan tetap mengenakan helm. Melihat saya menoleh, dia kembali memanggil. Saya mendekatinya, lalu dia membuka kaca helmnya. Hmm, cantik. Namun dengan jelas saya melihat air matanya berurai.

(lebih…)

Read Full Post »

Ilmu Baru dari Yogya

 

Sebenarnya acara saya di yogya tanggal 23-26 Agustus kemarin tidak ada hubungan dengan ilmu baru ini. Agenda resminya mengikuti acara workshop finalisasi penelitian rekrutmen dan keuangan parpol. Di agenda resmi, tidak ada keterkejutan baru yang ditemui. Ada sih beberapa hal, tapi masih kalah dengan menulis sejarah kampung ini.

Kamis malam, 25 Agustus 2011 seluruh agenda workshop sudah selesai. Seseorang yang sejak awal sebelum acara ingin saya ajak ngobrol ternyata memilih pulang duluan. Agenda malam itu saya ubah. Saya membuat janji dengan kawan lama, faiz. Ia berdomisili di yogya. Faiz ini kawan yang saya kenal saat masih mengurus pers mahasiswa dulu.

Ia dulu di LPM Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta. Saat kami bertemu kembali di facebook beberapa tahun lalu, saya janji ke dia kalau ke yogya pasti saya menghubungi dia. Dan kali ini adalah bagian dari pemenuhan janji saya. Sekaligus ingin berbagi cerita antar kawan.
(lebih…)

Read Full Post »

Melihat iklan kedua yang dibuat Mahkamah Konstitusi (MK) cukup mengherankan. Kenapa MK lagi-lagi beriklan mengenai sengketa Pilkada dan penyelesaiannya? Sementara iklan yang dibuat sebelumnya juga sudah mengangkat tema yang sama. Lagipula, manakah lebih ideal tugas Mahkamah Konstitusi, sebagai pengadilan norma konstitutif atau pengadilan pemilu/pilkada?

Dalam website mahkamah konstitusi kita bisa melihat, begitu banyak sengketa pilkada yang harus diselesaikan MK. Padahal, hampir setiap hari terjadi pilkada di Indonesia. Dapat dibayangkan betapa sibuknya MK mengurusi pilkada. Belum kalau datang masa Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden. Wew! Dalam Pemilu, MK harus menyelesaikan semua sengketa dalam waktu 1 (satu) bulan!
(lebih…)

Read Full Post »

mahasiswa dan partai politik

mahasiswa dan partai politik

Cerita flashback, setidaknya antara tahun 2002-2003 kondisi kampus cukup ramai menjelang Pemilu 2004. Salah satu perdebatan di kampus saat itu menanggapi UU tentang Pemilu. Perdebatan seputar parpol boleh kampanye di kampus atau tidak. Perdebatan ini mau tidak mau membawa ke perdebatan yang lebih luas. Mahasiswa dan kampus sebaiknya pro dengan parpol atau tidak. Dengan kata lain, apakah mahasiswa perlu percaya dengan parpol?

Saat itu di tahun 2003, kebetulan saya memimpin salah satu organisasi di Universitas Udayana. Perdebatan ini pun muncul, baik di internal organisasi maupun dengan beragam organisasi. Setelah perdebatan panjang, sikap saya saat itu secara pribadi yang kemudian menjadi sikap organisasi, bahwa tidak ada persoalan antara mahasiswa/kampus bersentuhan dengan parpol. Mahasiswa menjadi anggota parpol pun tidak ada masalah. Justru tahun-tahun itulah sebenarnya mahasiswa perlu mewarnai demokrasi prosedural, yakni terlibat dalam parpol.

Bagi saya saat itu kondisinya jauh berbeda dengan kondisi masa lalu. Saya mendambakan organisasi mahasiswa ekstra kampus (ormek) masuk mewarnai kampus. Termasuk organisasi-organisasi pemuda sayap parpol. Untuk tidak lagi malu-malu beteriak dari luar, padahal di dalam bergerak dengan jalan kasak-kusuk. Terhadap sikap untuk ormek ini, banyak kawan berbeda pendapat. Kekhawatiran mereka adalah chaos mahasiswa di dalam kampus. Sementara bagi saya, chaos dan konflik adalah bagian dari pendewasaan politik mahasiswa. Lebih baik konflik politik ketimbang intrik kanan-kiri urusan uang apalagi sekadar konflik urusan privat.

(lebih…)

Read Full Post »

Older Posts »