Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘budaya’

Awalnya membaca komentar I Gusti Putu Artha (mantan anggota KPU) dalam satu status di akun fesbuknya. Dia menyebut bahwa periode tahun 60-70an Bali memiliki gubernur yang bukan dari Bali. Dan masyarakat Bali saat itu tetap kondusif.

Bali memang pernah dipimpin oleh Gubernur bernama Soekarmen. Pria kelahiran Blitar, dan beragama Islam. Dalam komentar statusnya IGP Artha juga menyebut, dengan kondisi demokrasi hari ini yang penuh fanatisme, sukuisme, berbagai pengentalan lokalitas, demokrasi di Bali bisa disebut kemajuan atau kemunduran?

Saya membandingkan dengan beberapa daerah lain di Indonesia. Kondisi di mas orde baru, Bali tidak jauh berbeda dengan daerah yang lain. Pemimpin daerah pada umumnya selalu dipimpin dari orang lokal. Kecuali nyata adalah DKI Jakarta, yang memang dipimpin beragam etnis.

Bagi saya, nyata pengentalan identitas sesungguhnya bagian dari politik budaya orde baru. Sebagian besar daerah di awal orde baru dipimpin oleh orang lokal yang memang mampu dan berkualitas sebagai pemimpin. Namun kemudian seolah memenuhi aspirasi lokal, yang dipilih berikutnya sebagai pemimpin adalah orang lokal yang sekadar bisa menjadi perpanjangan tangan pusat. Tak heran, hampir di setiap daerah gubernur pada era akhir 70an dan awal 80an memiliki catatan prestasi positif bagi daerahnya.

Dalam politik budaya di Bali, orde baru mengentalkan identitas budaya bahwa masyarakat Bali adalah homogen, dengan identifikasi Bali adalah Hindu. Adanya kenyataan komunitas-komunitas non-Bali dan/atau komunitas non-Hindu yang eksis di Bali selama ratusan tahun dicitrakan sebatas anomali dari homogenitas.

Belakangan kini ditengah semakin kuatnya lokalitas, justru bukti-bukti heterogenitas Bali marak bermunculan. Semakin banyak ditemukan manuskrip, arca, tempat pemujaan kuno, ritual dan berbagai bukti serta kajian abaik sejarah maupun budaya yang semakin menunjukkan di masa lalu Bali tidaklah homogen. Peradaban Bali dipenuhi warna heterogenitas, multikultur. Namun di masa politik budaya orde baru, heterogenitas ini tidak dipandang sebagai eksistensi yang bernilai. Sehingga tak sadar nilai yang muncul adalah dominasi, siapa mendominasi siapa. Yang tidak dominan hanya menjadi pelengkap.

Sesungguhnya kita saat ini memiliki pilihan, terus mengentalkan kultur “homogen seolah-seolah” ini dengan terus melakukan pengentalan identitas kelokalan sabagaimana yang dilakukan orde baru. Atau, semakin menguatkan ke permukaan kenyataan heterogenitas multikultur yang nyatanya sudah menjadi bagian hidup masyarakat Bali di masa lalu. Dimana beragam kultur yang ada memiliki dan mendapatkan pengakuan eksistensi yuang sama baik dalam politik, sosial, kemasyarakatan.

Read Full Post »