Feeds:
Pos
Komentar

Pagi itu awal Oktober 2018 saya mengantar anak kedua saya Hadyan ke sekolah. Masih sempat ngobrol sebentar dengan sesama ortu murid. Namun memang kepala saya sudah terasa berat dan snut-snut. Saya segera pulang untuk istirahat.

Bisa tertidur dirumah sekitar 1 jam, saya terbangun karena rasa sakit kepala meningkat. Pain killer diminum. Saya minta tolong ibu saya untuk membaluri sambil memijat kaki saya yang rasanya seperti melayang. Tak lama saya pun kembali tertidur. Hingga dek ian datang pulang sekolah, saya terbangun.

Lanjut Baca »

Rosella, dikenal publik dimanfaatkan sebagai ramuan herbal yang dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Biasa dikonsumsi sebagai teh. Sebenarnya dapat juga dikonsumsi langsung.

saya dari dulu penasaran bagaimana lifestyle (gaya hidup) riil kaum muda di timur tengah. lalu tanpa sengaja di akun youtube saya muncul tautan acara “Arab Got Talent”. saya klik dan tonton rekaman itu. ahh,  setidaknya acara ini sedikit demi sedikit dapat menjawab pertanyaan saya. yang saya temukan acara ini sudah sampai season 4, yaa kurang lebih berarti berjalan 4 tahun.

saat melihat peserta, juri, penonton, pertama yang saya perhatikan pakaiannya. ooh, pakaiannya gaooll kekinian brooo….. bahkan yang perempuan tidak semua berkerudung. hampir saya tidak melihat jenis pakaian syar’i, yang disini sering jadi perdebatan dan disebut ‘pakaian yang paling benar’ itu. Lanjut Baca »

Malpraktek beberapa Profesi

becanda jumat siang. jangan diambil hati ya… hehe… berikut malpraktek beberapa profesi. maaf kalo salah. namanya juga becanda… 🙂

malpraktek dokter: salah diagnosa, jadi tambah sakit bahkan mati.

malpraktek hakim: salah membuat putusan, putusan/hukuman jadi tidak semestinya.

malpraktek jaksa: memainkan pasal, pidana jadi tidak semestinya.

malpraktek pengacara: melakukan tindakan diluar yang dikuasakan oleh klien. jadinya klien, dan pihak lain dirugikan.

malpraktek guru: salah ajar. murid jadi alay, suka tawuran, suka narsis, suka telanjang depan kamera.

ada lagi? ini becanda lho ya, gak usah diambil serius… :p

dua profesi, pengacara dan dokter sebenarnya sama-sama menangani klien. tapi cara klien memperlakukan keduanya berbeda.

posisinya, klien menghubungi pada malam hari. jam 12 malam. baik si pengacara maupun si dokter sudah dirumah masing-masing bersama keluarga. setelah letih seharian mengurus klien-klien yang lain.

tiba-tiba handphone si dokter berdering. kebetulan ini adalah dokter yang dikenal baik dengan klien-kliennya. sehingga jam berapapun telpon berdering dari klien, dia mengangkatnya. dia angkat telponnya, diseberang langsung terdengar suara sapa.

“selamat malam, dok. maaf saya mengganggu tengah malam begini,” ujar klien meminta maaf lebih dulu.

“iya, bagaimana?” jawab si dokter.

“dokter sekarang sedang dimana? saya…. bla…bla…bla…,” si pasien menceritakan keluhannya.

“hmm…hmm…,” terdengar sahutan dokter, sambil si pasien bercerita keluhannya di tengah malam.

“bagaimana dok?”

“saya sekarang dirumah, silahkan bawa ke rumah sakit anu. nanti disana ke bagian anu, sampaikan keluhannya. saya akan telpon rumah sakitnya dari sini. besok pagi-pagi kita ketemu di rumah sakit,” jawab sang dokter dengan halus menjelaskan.

“oh, baik dok. terima kasih ya dok,” si pasien mengakhiri pembicaraan lewat telpon.

nah, dialog diatas kurang lebih hanya intinya. bisa jadi di kejadian sebenarnya dialog lebih cepat, atau mungkin lebih panjang.

sementara di tempat lain, pada waktu yang sama si pengacara ditelpon oleh kliennya. segera telpon diangkatnya.

“malam pak, maaf mengganggu,” sapa si klien dengan suara panik.

“iya, bagaimana pak?” jawab si pengacara.

“aduh pak, saya ditangkap. bagaimana ini pak? tolong saya, segera kesini pak.”

“bapak tenang dulu, jangan berikan keterangan apapun. besok pagi-pagi sekali saya dampingi bapak.”

“aduh bapak ini bagaimana sih, bapak kan pengacara saya. saya sedang kena masalah malah menghindar. bla…bla…bla…,” si klien pun memaki.

dialog antara klien dengan pengacaranya tidak selesai sampai disitu. kalau si pengacara tidak datang, maka pada umumnya setiap jam atau bahkan setiap saat pasti si klien menelpon sambil panik dan memaki. kalau pengacara datang, waktu istirahat terbuang.

silahkan dibandingkan perlakuan klien kepada dokter dan pengacara. klien pengacara pada umumnya “sadis”. karena mereka datang saat masalah sudah menjadi pelik, rumit, dan ruwet. saat masalah masih sederhana, yang sebenarnya masalah masih bisa diperbaiki, mereka enggan meminta bantuan.

tapi buat saya, itu resiko pekerjaan. jangan salah, terhadap kasus tak berbayar pun ada klien yg seperti ini. walaupun mungkin mereka lebih sopan karena sadar tidak membayar.

saya ingin katakan, semua profesi adalah mulia. dan kita yang menjalankan profesi tersebut yamg harus mampu menjaga kemuliaannya. klien andalah yang sesungguhnya bisa menilai, anda sudah menjalankan profesi dengan baik atau tidak.

Rasis, Paranoid, Konyol

baca komentar-komentar, status-status member grup yang rasis dan paranoid bikin senyum-senyum geli. yang mereka tulis banyak konyolnya, haha…

Dulu Wartawan Ya?

Seminggu yang lalu, sebelum puasa saya janjian dengan kawan di Dunkin Donut Teuku Umar Denpasar. Bertemu untuk menyerahkan titipan surat kuasa.

Sampai disana ternyata ada 2 orang lainnya. Salah satunya adalah advokat yang lebih tua dari saya, dia seangkatan dengan kawan yang saya temui. Perkenalan, lalu kami basa-basi.

Sampai obrollan kalau saya juga menggeluti profesi advokat, walaupun masih baru. Dia pun tiba-tiba bertanya, “dulu wartawan ya?”

Hehe… Saya kaget dengan pertanyaan itu. Ya, saya memanga dulu pernah jadi wartawan. Tapi sudah 7 tahun dunia itu saya tinggalkan. Saya balik bertanya, “mm, bapak nanya gitu karena memang tau saya mantan wartawan atau wajah saya seperti koran?” Hehehe… Saya bertanya sambil tertawa.

Maklum, banyak orang yang sampai hari ini menganggap saya masih menggeluti dunia media. Mungkin ini juga berkah bagi saya selama dulu menggeluti dunia media terutama masa mahasiswa. Uang kuliah dan jajan banyak didapat dari menulis. Sekarang, karena cap sebagai wartawan bisa jadi orang yang belum tahu akan berhati-hati berhadapan dengan saya. Apalagi mereka, kelompok peminta-minta di dunia peradilan. Hehehe… 😀

Bali dan Multikultur

Awalnya membaca komentar I Gusti Putu Artha (mantan anggota KPU) dalam satu status di akun fesbuknya. Dia menyebut bahwa periode tahun 60-70an Bali memiliki gubernur yang bukan dari Bali. Dan masyarakat Bali saat itu tetap kondusif.

Bali memang pernah dipimpin oleh Gubernur bernama Soekarmen. Pria kelahiran Blitar, dan beragama Islam. Dalam komentar statusnya IGP Artha juga menyebut, dengan kondisi demokrasi hari ini yang penuh fanatisme, sukuisme, berbagai pengentalan lokalitas, demokrasi di Bali bisa disebut kemajuan atau kemunduran?

Saya membandingkan dengan beberapa daerah lain di Indonesia. Kondisi di mas orde baru, Bali tidak jauh berbeda dengan daerah yang lain. Pemimpin daerah pada umumnya selalu dipimpin dari orang lokal. Kecuali nyata adalah DKI Jakarta, yang memang dipimpin beragam etnis.

Bagi saya, nyata pengentalan identitas sesungguhnya bagian dari politik budaya orde baru. Sebagian besar daerah di awal orde baru dipimpin oleh orang lokal yang memang mampu dan berkualitas sebagai pemimpin. Namun kemudian seolah memenuhi aspirasi lokal, yang dipilih berikutnya sebagai pemimpin adalah orang lokal yang sekadar bisa menjadi perpanjangan tangan pusat. Tak heran, hampir di setiap daerah gubernur pada era akhir 70an dan awal 80an memiliki catatan prestasi positif bagi daerahnya.

Dalam politik budaya di Bali, orde baru mengentalkan identitas budaya bahwa masyarakat Bali adalah homogen, dengan identifikasi Bali adalah Hindu. Adanya kenyataan komunitas-komunitas non-Bali dan/atau komunitas non-Hindu yang eksis di Bali selama ratusan tahun dicitrakan sebatas anomali dari homogenitas.

Belakangan kini ditengah semakin kuatnya lokalitas, justru bukti-bukti heterogenitas Bali marak bermunculan. Semakin banyak ditemukan manuskrip, arca, tempat pemujaan kuno, ritual dan berbagai bukti serta kajian abaik sejarah maupun budaya yang semakin menunjukkan di masa lalu Bali tidaklah homogen. Peradaban Bali dipenuhi warna heterogenitas, multikultur. Namun di masa politik budaya orde baru, heterogenitas ini tidak dipandang sebagai eksistensi yang bernilai. Sehingga tak sadar nilai yang muncul adalah dominasi, siapa mendominasi siapa. Yang tidak dominan hanya menjadi pelengkap.

Sesungguhnya kita saat ini memiliki pilihan, terus mengentalkan kultur “homogen seolah-seolah” ini dengan terus melakukan pengentalan identitas kelokalan sabagaimana yang dilakukan orde baru. Atau, semakin menguatkan ke permukaan kenyataan heterogenitas multikultur yang nyatanya sudah menjadi bagian hidup masyarakat Bali di masa lalu. Dimana beragam kultur yang ada memiliki dan mendapatkan pengakuan eksistensi yuang sama baik dalam politik, sosial, kemasyarakatan.